#30harimenulissuratcinta

#30harimenulissuratcinta

Rabu, 08 Agustus 2012

nada di jarimu...


Ribuan pasang mata terpaku pada dua orang diatas panggung berlatar merah itu. Seorang pria dengan jas hitam dan dasi kupu-kupu, senada dengan warna latar panggung. Memainkan jari-jarinya diatas tuts piano dengan piawai. Sementara seorang gadis dengan pakaian balet. Menari anggun layaknya seorang bidadari. Wajahnya yang cantik semakin menambah indah penampilan sepasang kekasih yang sedang terikat profesionalisme kerja itu.

Pria tegap itu semakin lihai memainkan jarinya diatas piano, nada-nada yang terbentuk semakin memukau. Beberapa pejabat dan orang-orang terkenal di deret depan tak kuasa menahan kaki untuk berdiri dan memberikan standing applause pada “pemilik panggung” malam ini. Iringan tepuk tangan dari penonton semakin menambah adrenalin fesya. Wanita muda itu semakin menunjukkan kepiawaiannya dalam menari balet. Dia berputar, jinjit, kadang cepat tapi tetap terlihat anggun. ditengah-tengah klimaks, fesya yang sudah mulai menari tak terkendali, dan alunan nada dari piano Gio semakin liar

DORRRRRRRRR!!!
         
            Hening berganti dengan riuh.  Peluru dari sebuah pistol misterius bersarang tepat di dada gio. Panggung opera house yang tadinya menampilkan keindahan kini menjadi tegang. Fesya berhenti menari.ekor matanya menatap kearah gio yang tertunduk di atas piano dengan jas berlumuran darah. Dengan lincah fesya memapah tubuh gio yang jauh lebih tinggi darinya kebelakang panggung. Semua penonton berlarian menjauhi opera house.

“telpon ambulance sekarang!!!!” 

fesya berteriak dengan air mata yang tak tertahan pada team mereka dari Indonesia. 10 menit kemudian, ambulance datang.  Tubuh gio dibopong ke ambulance, fesya mendesak masuk kedalamnya masih dengan pakaian balet yang juga ikut berlumuran darah gio.

Di tempat duduk koridor rumah sakit, fesya tak henti berdoa sambil mengeluarkan tetes air mata. Beberapa team pergi ke kantor polisi untuk mengusut kasus penembakan “buta” ini. Sementara yang lainnya tinggal menjaga fesya. Pengawalan ketat didapatkan gio selama di rumah sakit.

“kamu sabar fesya. Trust me, everything is gonna be just fine!” gina memeluk tubuh fesya yang berkeringat. Air mata tak berhenti mengalir di matanya. Tak terhitung berapa doa yang membumbung tinggi dari hati fesya untuk keselamatan gio. Kekasihnya

 It broke my heart to see him laying helpless like that. Aku ga tega lihat keadaannya gin” air mata fesya mengalir dengan deras. Pelukan gina semakin erat.
15 jam. Akhirnya dokter keluar. Seperti kehilangan harapan

“we’re so sorry. We’ve tried but still couldn’t save his life.” Dokter itu berbicara sambil memegang bahu fesya. Semua team dan teman yang ada disana berteriak histeris. Fesya terdiam menangis tanpa suara. Saat jenazah Gio di bawa menuju kamar mayat, tatapan fesya mengarah pada kain putih yang menutupi Tubuh Gio. Seperti ada bagian dari diri fesya yang ikut pergi bersama Gio. Bagian yang mungkin tak akan pernah kembali.
Beberapa kali, fesya pingsan. Gina dengan sabar menemani fesya mempersiapkan semua sebelum mereka kembali ke Indonesia. Mata fesya bengkak. Dia seperti mayat hidup yang berjalan. Seluruh wajahnya pucat.
7 perjalanan terasa begitu lama bagi fesya.dia tak banyak bicara. Gina benar-benar khawatir pada sahabatnya itu. 

siang itu, di salah satu pemakaman terkenal di jakarta. disaat peti mati Gio siap diturunkan, tiba-tiba fesya melarangnya. dia berteriak histeris, mengamuk, sambil terus memeluk peti itu. 

"Jangan... Gio masih hiduuuuuuuuuuupppp!!!" Fesya berteriak histeris seperti orang gila. air mata mengalir deras dipipinya. sampai akhirnya mungkin Fesya terlalu lemah untuk melawan, dan hanya bisa terdiam pasrah saat tanah merah mulai menutupi peti Gio. fesya pingsan.

pasca kematian Gio. fesya meninggalkan kehidupannya sebagai seorang balerina.

"kamu yakin sya?" gina mengerjapkan matanya sambil menyeruput kopi.

"sangat yakin gin. aku tidak mau lagi hidup dalam dunia balet"

"lalu?"

"aku ingin melanjutkan saja cita-cita papa yang ingin aku menjadi dokter"

"kupikir itu bukan hidupmu?"

"iya, memang bukan gin, tapi hidupku memang sudah tidak ada lagi sejak kepergian gio"  mata fesya berkaca-kaca

"fesya, Gio sudah meninggal. kamu masih punya hidup. tak ingin melanjutkan karya dan mimpi kamu dengan gio yang sempat tertunda?"

"entahlah. kita lihat saja. apa maksud Tuhan mengambil Gio dariku" kata fesya sambil berlalu dari pandangan gina.

sampai di kamar. fesya merutuk. wajah Gio membayanginya terlalu dalam. otaknya pun seakan-akan sedang menampilkan "film" masa lalunya bersama Gio. air mata fesya kembali mengalir. kehilangan itu bukan sesuatu yang gampang. apalagi dengan kebersamaan 2 tahun. jelas fesya merasa tersaruk-saruk melwati hari tanpa Gio.

fesya merapikan semua barang-barang kenangannya bersama Gio, dia menemukan secarik kertas, tulisan Gio

"fesya, kesayanganku. kamu tau, aku mungkin tak selamanya bisa menjagamu. jadi jika suatu saat nanti aku pergi, komohon izinkan pria lain untuk mencintai dan menjagamu. yang mencintaimu, Gio 

fesya menangis membaca deretan kalimat itu. mungkin memang benar. dia harus melanjutkan hidupnya.

"ma, fesya mau lanjutin kuliah yang tertunda"

"kamu yakin fes?"

"yakin ma..."

"ngambil jurusan apa?"

"kedokteran, sama seperti yang papa minta.."

"baiklah.."

akhirnya fesya melanjutkan kuliah. dia mendedikasikan seluruh hidupnya hanya untuk belajar. melewati koass dan lulus sebagai Cum Laude di universitas padjajaran, bandung. membuka praktek dan akhirnya menikah dengan seorang dokter mata.

"kepada gio, kekasih yang sampai saat ini bertahan di hatiku.
hari ini, aku akan melangsungkan pernikahan deng Prama. pria yang kukenal sejak koass. dia baik. sangat baik. tapi sayangnya, dia tidak bisa membuatku mencintainya. Gio, aku mau menikah dengannya, karena kupikir dia bisa menjaga dan mencintaiku, sama seperti yang kamu bilang di secarik kertas yang kutemukan dikamarku. iya dia sangat bisa mencintai bahkan menjagaku, walaupun aku yang tak pernah bisa mencintainya.
Gio, 7 tahun kamu pergi. bahkan tak cukup untuk aku sekedar tidak memikirkanmu dalam satu hari. gio, meski prama berhasil menjadikanku istrinya. tapi dia tak berhasil menjadi seseorang yang kucintai.
gio, kamu ingat kita pernah berjanji. suatu ketika, kita akan menikah. dan aku akan berpakaian balet. kamu memainkan jarimu diatas piano, dan aku akan menari selayaknya balerina. aku masij ingat itu gio. tapi ternyata, Tuhan berkata lain.
Gio, meskipun aku tau, kamu tidak akan pernah membaca ini. tapi entah kenapa jari-jariku enggan berhenti menulis. di hari pernikahan yang justru bahagia ini. aku malah menyimpan rapat-rapat lukaku yang belum kering.
aku masih belum bisa menerima kepergianmu Gio, sama seperti aku tak mampu menerima kepergian Prama...
aku ingin bertemu kamu Gio.
aku rindu nada-nada piano yang mengalir dari jarimu.
yang mencintaimu, fesya"








Tidak ada komentar:

Posting Komentar